BANYAK PESANTREN, TAPI MALAH TERJADI DEGRADASI MORAL



Oleh Iman Herlambang

Sungguh ironis memang membaca judul yang saya tulis di atas, dimana ketika banyak pesantren berjamuran di seluruh nusantara dengan jumlah santri yang mencapai jutaan orang, ekspetasi yang muncul adalah akan terciptanya bangsa Indonesia yang bermoral, dan beradab. Tetapi yang terjadi adalah bangsa Indonesia semakin hari semakin tidak jelas, semakin tidak bermoral, entah dimana posisinya di sekuler-kah, atau di konservatif-kah?.

Ada apa dengan Pesantren??
Pesantren adalah suatu tempat dimana seorang santri mengaji, belajar kehidupan, tempat dimana santri digembleng akhlaknya, tempat dimana norma-norma kepatutan begitu dijunjung tinggi kedudukannya. Dengan harapan akan muncul output dari pesantren seorang manusia yang ‘alim akan ilmu agama, dapat menjadi mercusuar untuk masyarakat, menjadi seorang guru bagi generasi selanjutnya, dan lain sebagainya.
Banyak kalangan mengharapkan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, akan menjadi lumbung yang mencetak kader-kader penerus kejayaan bangsa Indonesia, serta menjadi soko guru bagi masyarakat secara umum.

Tetapi melihat fenomena pergeseran kehidupan masyarakat sekarang, dapat kita lihat diberbagai media cetak ataupun visual, yang namanya kasus kriminal seakan-akan tidak pernah berhenti dan setiap harinya pasti akan bermunculan dari satu kasus ke kasus yang lain, korupsi yang semakin hari semakin tidak mengenal batas kalangan dan usia, seakan sudah menjadi trade mark bagi setiap pejabat, dari mulai pejabat itu masih menjadi calon pejabat sampai menduduki satu posisi tersebut, penuh dengan intrik-intrik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di kalangan mudanya, sehari-hari mereka isi dengan perkelahian antar pelajar, tawuran antar kelompok pemuda, dan yang menyedihkan lagi adalah sebab musabab terjadi tawuran itu adalah hal yang sepele, atau hal yang sebenarnya tidak jelas dan dapat dimengerti untuk dijadikan alasan melakukan tawuran tersebut. belum lagi bicara masalah peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang, negeri Indonesia kita ini seakan sudah menjadi surga bagi para bandar Narkoba lintas negara, dan bahkan menjadi produsen terbesar barang haram tersebut.
Inilah yang terjadi saat ini, di saat Indonesia tinggal lepas landas untuk menjadi negara maju, malah terjadi konflik berkepanjangan di dalamnya, yang disebabkan oleh degradasi moral masyarakatnya,
Kemana dan dimana posisi Pesantren??
Sungguh miris, negara yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini, tidak bisa mengelak akan kenyataan yang terjadi dewasa ini. Pertanyaannya adalah mengapa semua hal itu terjadi ? dimana posisi pesantren yang seharusnya ada untuk membimbing dan menemani masyarakat itu?
Jumlah pesantren di tanah air sudah mencapai ribuan, dengan berbagai `macam sistem dan bentuknya, dengan dihuni oleh jutaan santri dari berbagai pelosok daerah di nusantara, ini seharusnya menjadi dynamo untuk menggerakan masyarakat, karena mau tidak mau santri pasti akan berkecimpung di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi dengan menilik fenomena yang tersebut di atas, pesantren seakan-akan menyandang gelar “wujuudihi ka ‘adamihi” maksudnya adalah keberadaan pesantren seperti ketidakadaannya.
Memang kita tidak bisa menyalahkan pesantren, atau meminta pertanggung jawaban pesantren dengan terjadinya degradasi moral yang terjadi di kalangan masyarakat. Tetapi acap kali kita mesti menanyakan, buat apa ada ribuan pesantren, buat apa ada jutaan santri tetapi tidak bisa memberikan dampak akibat yang positif buat kemajuan bangsa.
Letak Permasalahan
Disini penulis membaca fenomena yang terjadi pondok pesantren yang pernah dikunjungi penulis, ada beberapa hal yang mengakibatkan pesantren terasa melempem dalam meberikan pengaruh dan dampak positif di masyarakat secara umum sehingga terjadi yang disebut degradasi moral tersebut.
Pertama, terjadinya pembiaran hal-hal kecil yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang santri. Contohnya seorang santri yang masih ada di jenjang dasar dibiarkan merokok, ngopi dan  cangkrukan, hal tersebut bagi sebagian orang adalah sepele. Tapi menurut penulis hal tersebut adalah hal yang urgen. Gimana bisa mengharapkan masa depan yang lebih baik dari seorang santri yang sehari-harinya diisi dengan hal tersebut, apa sih yang mereka bicarakan di dalam cangkrukkan  paling-paling adalah gunjang-gunjing orang lain atau temennya sendiri. Disinilah peran pesantren seharusnya ada, dengan menjaga akhlak seorang santri muda yang masih duduk di jenjang dasar tentunya dengan penegakan disiplin. Inilah yang harus dicatat: penegakan disiplin di pesantren.
Disiplin di mata santri, dipandangnya sebagai sebuah pemaksaan kultur. Padahal disiplin adalah untuk fondasi santri sendiri. Ada istilah “allah bisa biasa” “biasa ada karena dipaksa” ya memang disiplin itu identik dengan pemaksaan, tetapi memang itulah yang harus terjadi, bila santri sudah terbiasa dengan disiplin dari semenjak kecil. Maka tidak akan susah untuk mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya, untuk dieksplorasi keterampilan santri itu, karena sudah punya fondasi yang kuat yang bernama disiplin.
Kedua, buruknya penanaman sistem kehidupan dalam diri santri. Ini yang terjadi ketika santri dihadapkan ke dalam masyarakat yang lebih majemuk secara kultural, mereka kesulitan untuk berdaptasi, karena di dalam mereka tidak tertanam sistem kehidupan secara konperehensif. Bagaimana dia berdaptasi dengan masyarakat luas, bagaimana dia berinteraksi dengan masyarakat dan lain sebagainya. Bagaimana seorang santri itu bisa mengembangkan perannya di masyarakat, membangun dirinya menjadi mapan. 
Seharusnya santri ketika keluar harus sudah siap bersaing, siap mengabdi di masyarakat bukan malah menjadi perusak tatanan masyarakat yang sudah ada. Seperti ada istilah “jiga kuda kaluar tina gedongan”.
Dua hal inilah yang penulis suguhkan untuk bisa dijadikan renungan bagi para pengayom pesantren termasuk didalamnya adalah para kyai, asatidz, dan santri itu sendiri.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

1 komentar: